Bismillahirohmanirrohim

Just another WordPress.com weblog

September : Makna Uang Tiga Puluh Ribu Yen di Mata Para Ibu

“Makna Uang Tiga Puluh Ribu Yen di Mata Para Ibu”

 

“Kalo mau bawa anak, kamu mestinya bilang dulu sama saya, nggak main bawa aja seperti sekarang, lihat!!! nanti dia akan mengganggu kamu, padahal kamu kan mesti packing buat Ozawa san”  Ibu Ngegondokin  yang manis dan lembut, yang di jumpai Mbakyu Geudebleh hari pertama pameran, memulai serangan paginya di hari ketiga pameran, sesaat si Mbakyu menapakkan kakinya kembali ke ruangan pamerannya dengan putrinya.

Maksud hati untuk memperkenalkan ajang international ini pada sang buah hati, malah menjadi santapan “keji” dari penanggung jawab stand pameran di Big Site Odaiba, 2-5 September 2008 yang diikuti oleh dua puluh lima negara tersebut.

 

“Mbak Ge, duh kok piring kerangnya diletakkan di sini. Tuh terinjak si orang Jepang” seru Ibu  Margono galau, piringnya terinjak orang Jepang. Bu Margono sedang packing untuk Okagesamasama san, jadi packingnya persis di depan meja stand pameran. Terinjak pula piring yang dia taruh di depan stand itu oleh kaki pembeli. lah ya talah dalah… kok ya marahnya ke Mbakyu Geudebleh.

“Waduh Bu Margono, maaf, saya sedang menjawab pertanyaan beliau berdua tentang order ratusan kerang material untuk bisnis Ibu, tadi Ibu kemana?beliau berdua ini berminat bahan dasar kerang dari Ibu, dan saya sedang menjelaskan ini…”menjawablah dengan takzim Mbakyu Geudebleh dari balik dalam stand dengan wajah kepiting rebus.

 

“Apa saya bilang, kalau kerja bawa anak, anak membuat gugup kerja kan?” sambar Ibu Ngegondokin dari arah belakang sebelah ujung kanan stand.

 

“Loh Bu Maaf, anak saya nggak ganggu kok, apalagi membuat saya gugup bekerja, Ibu lihatlah, dia tidur di meja sekarang? mana yang mengganggunya? dia berpuasa hari ini  dan mengantuk, lalu tertidur…” jawab Mbakyu Ge tak mau kalah menjawab keketusan Ibu Ngegondokin itu

.

Dia tidur sendiri, bahkan hanya beralaskan meja untuk pipinya yang imut dan masih semu kesemutan mungkin, karena tangannya dilipat dua, lalu ditangkupkan ke wajah. Meletakkan wajahnya di atas kedua tangannya lalu tidur dengan tenang, di tengah kesibukan Mamahnya yang sedang arubaito jadi translater eh juga nyambi diperintah berjualan.

Mana sisi mengganggunya? Ibu Ngegondokin ini punya anak ngak seh?

 

“Udah lah Mbakyu Ge, omongan Ibu Ngegondoikn jangan diambil hati, kalau Mbakyu Ge tidak ada, seperti kemarin Mbakyu Ge absen dari pameran ini, stand saya sepi, dan kami kesepian. Anggap angin lalu saja omongannya. Hiburan kalimat ini keluar dari Ibu Margono pada Mbakyu Ge.

 

“Kalau kamu bawa bayimu dan berniat momong, kan kamu bisa bilang dengan saya, tidak usah datang saja kamu hari ini di pameran, saya bisa cari orang lain” Ibu Ngegondoikn yang bersuami orang Jepang yang sok profesional itu menyapa dengan sambaran gledek mautnya pada interpreter lain yang hadir membawa bayi delapan bulan, anak perempuan enam tahun dan keponakannya dua puluh tahun.

 

“Anak saya bukan saya yang asuh hari ini, tetapi di pegang oleh keponakan saya Bu, jadi Ibu tidak perlu kuatir dengan profesionalitas kerja saya” jawab si Ibu dengan mantab.

“Lain kali, jangan seenaknya bawa anak tanpa bilang saya dulu ya !!!” jawab Ibu Ngegondoikn itu tanpa ambil pusying dengan air mata yang siap keluar membuncah, karena naluri keibuannya tersembelih dengan kalimat seorang ibu juga yang nampak ingin profesional di tugasnya.

 

“Bah, habis beras makan gabah, asal aku nggak terhina seperti ini, tanpa baito di sinipun aku masih bisa hidup. Suamiku masih cukup terhormat, sebagai pengajar di beberapa perguruan tinggi di beberapa negara, seenaknya saja dia ngomong padaku tentang anakku!!!” curhat Ibu Anggun berhati halus sehalus kapas, seindah permata, tetapi menjadi berang, seberang heawan bernama berang-berang, seindah lebah, tetapi akan menggigit bila terinjak tubuhnya.

 

Mbakyu Ge, merasa tidak sendirian mendapatkan perlakuan tidak senonoh. dan buat Ibu Anggun dalam perjalanan karirnya sebagai seorang Ibu Rumah Tangga. Walaupun pilihannya saat ini sebagai Ibu Rumah Tangga, tetapi Ibu Anggun, bukan ibu sembarang ibu. Bu Anggun lulusan Doktor, dari Universitas ternama di Jepang ini. Keberadaannya hadir sebagai interpreter juga dengan niatan tulus, ingin belajar mencerna, apa, bagaimana, menjadi peserta pameran ini pada tahun yang akan datang. Peserta pameran, bukan sebagai job saat ini.

 

“Terima kasih Ibu, uang tiga puluh ribunya…” sapa Mbakyu Geudebleh dengan tetap tersenyum, walau uang itu juga menggondol Piala Pilu bersama Ibu Anggun  yang juga memperoleh sejumlah uang.

“Ternyata, uang bukan segalanya, karena uang tiga puluh ribu yang diberikan, dengan tangan kasar, menyakitkan hati, terasa tak bermakna, dengan dibandingkan pemberian senyum tulus bahkan tanpa uang se yen pun”.

“Mbok yao, kalau jadi penggede, jangan jadi gede kelapa eh kepala tho Kanjeng Ratu Ibu Ngegondokin, ntar panjenengan terserang penyakit Gondok, baru panjenengan (kamu bahasa halus Jawa) tahu, makna kata-kata indah, seindah pisau menyembelih hati para ibu yang berjuang di negeri Jepang ini” bukan doanya Mbakyu Geudebleh, tetapi hanya kalimat curhatnya untuk mengeluarkan unek-uneknya dalam batin dengan gelengan kepala berulang-ulang.

“Istigfar…istigfar…. uang tiga puluh ribu bukan segalanya, bila membuat hati jadi terluka” kata Ibu Anggun dengan mata hampir sembab.

“Maaf-maaf saja, saya masih mampu kalau soal uang. Saya hanya ingin menyerap kegiatan ini untuk kemajuan pengetahuan putra-putri saya, juga ponakan saya, tentang ajang international dan insya allah tahun depan menjadi peserta pameran di ajang ini. Insya allah serapan saya akan menjadi doa utama, bahkan dengan perlakuan tidak berperi keibuan dari Ibu Ngegondokin” curhat detik terakhir dari Ibu Anggun.

 

“Enggg…. Bu Ngegondokin, kancing-kancing jualan ibu, dan jewerly saya, biar direkap oleh Mbakyu Geudebleh dulu ya” kalimat itu meluncur saat stand pameran ditutup rapat dan mulai disapu bersih.

“Loh, Bu Margono ini gimana sih? kalau saya di Jepang berjualan, ya tinggal mencocokkan saja, mana stok, mana sisa barang. Lalu selisihnya itu yang artinya terjual. Ibu punya catatan barang stok tidak?” tanya Ibu Ngegondokin.

“Saya tidak punya catatan  rincinya, tetapi secara umum saja” jawab Bu Margono.

“Wah nggak bisa begitu Bu, Ibu harus rinci kalu mau nitipkan barang pada galeri saya, harga barang A berapa, harga barang B berapa” jawab Ibu Ngegondokin.

Mbakyu Geudebleh yang dapat tugas mencatat jumlah kancing terjual bengong. Beradu juga dua ibu penggede ini. Yang satu pemilik barang dari Indonesia, dan yang satunya penanggung jawab stand di pameran dan akan jadi agen buat barang Bu Margono di Jepang. Hayoooo seruuuuuuu, batin Mbakyu Ge.

“Loh, Ibu nggak bisa ngomong begitu, saya jelas sudah dengan persiapan baik dari Indonesia” jawab Bu Margono jengkel.

“Tapi Ibu juga tidak bisa seenaknya meletakkan barang di galeri saya, tanpa harga yang jelas, atau Ibu mau bawa pulang semua barang-barang dagangan Ibu dari Indonesia? Silakan saja kalau kerso (kerso artinya kalau mau, bahasa Jawa)” tancap Ibu Ngegondokin.

“Maksud saya bukan begitu, tadi Ibu bilang packing saya harus cepat, mana bisa cepat Bu, barang-barang saya kecil-kecil semua, lah barang-barang jualan ibu sih enak, kain sutra mah, tinggal lipat, lah barang saya?anting-anting, gelang, piring, kalung, pating perindil, mana bisa packing cepat seperti Ibu” jawab Bu Margono menaikkan suaranya kira-kira enam desibel lebih tinggi dari suara normal.

” Ya terserah Ibu, tapi bus rombongan Indonesia, tidak akan lama-lama menunggu barang Ibu ya, dan kalau mau dititip ke galeri saya, segera angkat dan bungkus saja segera” jawab Ibu Ngegondokin mengakhiri perbincangannya dengan Bu Margono.

 

Wah, kena semua. Mbakyu Geudebleh kena, Ibu Anggun kena, terakhirnya Bu Margono pemilik barang dari Indonesia juga kena.

Mbok yaou kalau sedang menstruation belajar menahan esmosi/emosi, agar Piala Pilu tidak terlalu banyak digondol oleh para Ibu. Sehingga nama Ibu Ngegondokin bisa kami rubah menjadi Ibu Ngayem-Ngayemi atau jadi Ibu Piala Bahagia.

 

TOKYO, catatan kaki menjadi interpreter dadakan

Odaiba, 2-3-5 Sept 2008.

 

October 29, 2008 - Posted by | Mbakyu Geudebleh

No comments yet.

Leave a comment